makalah ini di sampaikan pada acara sarasehan temu alumni dan khaul kh.abdul manan ke 58 di ponpes raudlotul qur an semarang
Oleh Mun’imul Huda [1])
Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudain dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel- salah seorang pengkaji ke-Islaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar.[2])
Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai (tafaquh fi Al-diin) dan penyiaran agama Islam (dakwah). Namun, dalam perkembangannya melintasi sejarah yang panjang, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak hanya mengakselerasikan mobilitas vertical (dengan pendalaman materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial). Tegasnya, pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kikinian masyarakat (society-based curriculum). Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi dianggap semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons persoalan masyarakat di sekitarnya yang terus mengalami dinamika.[3])
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa. [4])
Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya. Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai. Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, maupun memikirkan manajemennya, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri. Kyai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana. Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai. Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubug yang didirikan. Para santri yang telah cukup belajar di pesantren kemidan mukim di daerahnya dan selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal kemana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo bahkan sampai sekarang.[5])
Jenis pesantren
Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja umumnya disebut pesantren salafi. Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri bekerja untuk kyai mereka - bisa dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan lain sebagainya - dan sebagai balasannya mereka diajari ilmu agama oleh kyai mereka tersebut. Sebagian besar pesantren salafi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. Para santri, pada umumnya menghabiskan hingga 20 jam waktu sehari dengan penuh dengan kegiatan, dimulai dari shalat shubuh di waktu pagi hingga mereka tidur kembali di waktu malam. Pada waktu siang, para santri pergi ke sekolah umum untuk belajar ilmu formal, pada waktu sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustadz mereka untuk memperdalam pelajaran agama dan al-Qur'an.
Ada pula pesantren yang mengajarkan pendidikan umum, dimana persentase ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum (matematika, fisika, dan lainnya). Ini sering disebut dengan istilah pondok pesantren modern, dan umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. Pada pesantren dengan materi ajar campuran antara pendidikan ilmu formal dan ilmu agama Islam, para santri belajar seperti di sekolah umum atau madrasah. Pesantren campuran untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah, kadang-kadang juga dikenal dengan nama SMP, sedangkan untuk tingkat Madrasah Aliyah, kadang-kadang juga dikenal dengan nama SMA. Namun, perbedaan pesantren dan madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya ke dalam asrama, sementara dalam madrasah tidak.
Format pesantren dan santri ideal
Hal yang kemudian perlu kita diskusikan adalah bagaimana mencari format pendidikan pesantren yang dapat menjawab tantangan kekinian. Tentu jawaban bisa subjektif, bisa objektif tergantung dari mana kita menilai, tetapi dalam hal ini kita dapat mengajukan beberapa pendapat.
Pertama, pesantren dengan segala perangkat yang dimilikinya harus selalu mengarahkan santri kepada akselerasi mobilitas vertikal, pendalaman materi-materi keislaman. Hal ini sangat penting mengingat semangat tafaqquh fi al-diin adalah ruh dan jantung pesantren itu sendiri. Materi-materi seperti tauhid, fiqih, tajwid, nahwu shorof, tarikh dan seterusnya tidak boleh diabaikan bahkan dikurangi. Mengingat budaya keilmuan di pesantren sangat holistik (menyeluruh) yang bersumber dari kitab-kitab kuning tentunya.
Kedua, pesantren juga harus selalu diarahkan kepada akselerasi mobilitas horizontal, berusaha mencetak santri yang mampu merespon persoalan-persoalan sosial-kemasyarakat yang terus mengalami dinamika yang cukup mengkawatirkan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membekali santri berlatih berbicara di hadapan audien dengan latihan khitabah, mengajukan dan menanggapi pendapat orang lain dengan berlatih diskusi, takror, bahsul masail. Berlatih berorganisasi juga sangat penting untuk melatih jiwa leadership (kepemimpinan). Termasuk berlatih mengembangkan bakat seni yang islami seperti qira’ah, seni hadroh, seni kaligrafi dan berbagai yang lain.
Ketiga, pesantren semestinya mampu membentuk santri yang mempunyai karakter toleran (tasamuh), adil (ta’dil) dan berimbang (tawazun) sehingga ia mampu bersikap luwes, tidak kaku, tetapi tetap menjaga moralitas dan ajaran agama. Kita patut prihatin dengan berkembangan beberapa tahun terakhir ini dengan munculnya aliran-aliran radikal, baik radikal kanan yang menyatakan kelompoknya paling murni paling islami bahkan paling benar atau radikal kiri yang sangat terpengaruh dengan poal pikir dunia Barat, yang dikenal dengan istilah liberalisme, bahkan aliran-aliran sesat juga bermunculan di berbagai daerah. Dalam hal ini pesantren dan santri harus berbuat untuk memberi pencerahan dan membentengi umat dari pengaruh negatif yang muncul dari berbagai aliran tersebut. Bahkan mungkin pesantren menjadi benteng terakhir dari carut marut pemikiran yang terus bermunculan, yang banyak diadopsi dari luar dan sering tidak relevan dengan kondisi umat.
Keempat, pesantren seyogyanya membekali santri dengan skill yang sesuai dengan minat dan bakat santri artinya santri harus siap kerja. Dalam hal ini kita tahu bahwa santri mayoritas pernah melukan riyadhah atau hidup prihatin baik karena mengamlkan ijazah sang guru maupun terpaksa karena keadaan, shingga deng sendirinya membentuk santri sangat mampu untuk beradaptasi dengan berbagai situasi dan kondisi. Bagi santri, jadi apa pun bisa karena tidak ada pekerjaan yang rendah kecuali yang nyata melanggar atau menyimpang ajaran agama. Ia bisa menjadi ulama, guru, pengusaha, politikus, pejabat (PNS) bahkan petani pun tidak ada rasa minder. Menurut pengamatan saya, banyak santri yang telah mukim mereka bisa berganti peran dengan sangat luwes, malam mengajar agama (ngaji), pada waktu siang mereka ada yang necis ke kantor, beragkat ke pasar atau tekun menggarap sawah dan ladangya. Satu yang tidak hilang dari mereka jiwa santri yang terus melekat dan termanifestasi dalam pergaulan sehari-hari.
Singkatnya kita mengharap pada Alloh swt menjadi hamba yang shalih – Al-Qaim bi mashalihi ummatih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar